Apa itu fenomena Rojali dan Rohana? Simak 7 fakta tentang rombongan jarang beli dan hanya nanya yang viral di mal, penyebab, serta dampaknya pada omzet ritel.
Daftar Isi
Pendahuluan: Fenomena Rojali dan Rohana yang Viral
Belakangan ini, istilah Rojali dan Rohana ramai diperbincangkan di media sosial seperti TikTok, X, dan Instagram, menjadi sindiran jenaka terhadap perilaku pengunjung pusat perbelanjaan di Indonesia. Rojali, singkatan dari “Rombongan Jarang Beli,” dan Rohana, akronim “Rombongan Hanya Nanya,” menggambarkan kelompok orang yang memadati mal tanpa banyak bertransaksi. Fenomena ini mencerminkan perubahan pola belanja masyarakat di tengah tekanan ekonomi, menarik perhatian pelaku usaha hingga pemerintah. Artikel ini mengulas 7 fakta fenomena Rojali dan Rohana, termasuk penyebab, dampak, dan pandangan psikologis, menggunakan kata kunci seperti fenomena Rojali dan Rohana, rombongan jarang beli, dan daya beli masyarakat. Mari kita telusuri lebih dalam
1. Arti dan Asal-Usul Rojali dan Rohana
Apa Itu Rojali dan Rohana?
- Rojali: Singkatan dari “Rombongan Jarang Beli,” merujuk pada pengunjung mal yang datang beramai-ramai tetapi minim melakukan pembelian. Mereka sering hanya jalan-jalan, menikmati fasilitas gratis seperti Wi-Fi dan AC, atau membuat konten media sosial.
- Rohana: Akronim “Rombongan Hanya Nanya,” menggambarkan kelompok yang aktif bertanya tentang harga atau mencoba produk tanpa niat membeli. Variasi lain seperti “Rombongan Hanya Nongkrong Aja” juga muncul di media sosial.
Asal-Usul
Istilah ini viral di TikTok dan X sekitar Juli 2025, dipopulerkan melalui meme dan video singkat yang menyindir pengunjung mal. Menurut ANTARA, fenomena ini bukan baru, tetapi intensitasnya meningkat pasca-Ramadan 2024, seiring lesunya perekonomian.
2. Penyebab Ekonomi: Daya Beli Melemah
Lesunya Perekonomian
Menurut Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, fenomena Rojali dan Rohana didorong oleh melemahnya daya beli masyarakat akibat tren PHK dan tekanan ekonomi global. Masyarakat kelas menengah-bawah cenderung membeli produk murah, sementara kelas atas lebih selektif.
- Data APPBI: Kunjungan mal meningkat, tetapi omzet turun karena konsumen memilih barang dengan harga satuan rendah.
- Pasca-Idulfitri 2024: Penurunan daya beli terasa sejak Ramadan, diperparah oleh low season yang lebih panjang.
Dampak
Omzet ritel, khususnya fesyen, turun signifikan, meskipun sektor makanan dan minuman (F&B) mengalami kenaikan 5–10% karena pengunjung Rojali tetap membeli minuman.
3. Pandangan Psikologis: Kebutuhan Sosial dan Validasi
Hierarki Kebutuhan
Psikolog Kasandra Putranto menjelaskan bahwa fenomena ini terkait hierarki kebutuhan Maslow. Kunjungan ke mal tidak hanya untuk belanja, tetapi memenuhi kebutuhan sosial, seperti berkumpul, refreshing, atau healing.
- Identitas Sosial: Mengunjungi mal elite memberikan nilai simbolik, meski tanpa membeli, sebagai bentuk validasi diri atau eksistensi di media sosial.
- Konten Media Sosial: Banyak pengunjung membuat foto atau video untuk TikTok, meningkatkan tren Rojali dan Rohana.
Faktor Budaya
Perilaku bertanya atau melihat tanpa membeli juga dipengaruhi budaya lokal, di mana tawar-menawar dianggap wajar sebagai proses belanja.
4. Dampak pada Pelaku Usaha
Penurunan Omzet
Ketua Umum APPBI, Alphonsus Widjaja, menyebutkan bahwa fenomena ini memperparah penurunan omzet, terutama di sektor fesyen, karena pengunjung lebih memilih barang murah.
- Ilksi Keramaian: Mal tampak ramai, tetapi transaksi minim, menciptakan tantangan bagi pedagang.
- Sektor F&B: Himpunan Peritel Indonesia (Hippindo) melaporkan kenaikan omzet F&B karena Rojali sering membeli minuman atau makanan ringan.
Adaptasi Bisnis
- Omnichannel: Peritel mengadopsi penjualan daring dan luring, memanfaatkan mal sebagai showroom untuk produk daring.
- Rekreasi: Mal berevolusi menjadi pusat hiburan, seperti Plaza Nusantara, dengan ruang interaksi sosial untuk menarik pengunjung.
5. Fenomena Bukan Hal Baru
Konteks Sejarah
Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan bahwa Rojali bukan fenomena baru, melainkan bagian dari fungsi mal sebagai ruang interaksi sosial. Perilaku melihat sebelum membeli dianggap wajar untuk mengecek kualitas produk.
- Pandemi Covid-19: Perubahan perilaku konsumen sejak pandemi meningkatkan tren nongkrong di mal untuk interaksi sosial pasca-karantina.
- Ramadan 2024: Intensitas Rojali dan Rohana meningkat sejak Ramadan, menurut APPBI, karena daya beli menurun pasca-Idulfitri.
Perbandingan
Fenomena serupa dikenal di kafe atau restoran, di mana rombongan hanya memesan satu minuman untuk kelompok besar, seperti dilaporkan Viva.co.id.
6. Respons Pemerintah dan Solusi
Intervensi Pemerintah
Ekonom CORE Indonesia menyarankan intervensi pemerintah untuk meningkatkan daya beli melalui:
- Penciptaan Lapangan Kerja: Investasi padat karya untuk mengurangi PHK.
- Dukungan Wirausaha: Insentif bagi pekerja terkena PHK untuk membuka usaha.
- Bantuan Subsidi Upah (BSU): Meski telah disalurkan, BSU belum cukup mendongkrak daya beli, menurut Tribunpadang.com.
Strategi Mal
- Event UMKM: APPBI menggelar acara seperti peresmian 100 merek UMKM untuk menarik transaksi.
- Spot Instagramable: Mal menyediakan area foto untuk menarik Rojali membuat konten, berpotensi meningkatkan kunjungan.
7. Perspektif Sosial: Sindiran atau Realitas?
Sindiran Jenaka
Istilah Rojali dan Rohana awalnya muncul sebagai sindiran sosial di TikTok, menggelitik warganet karena relatable dengan kebiasaan sehari-hari. Namun, istilah ini juga mencerminkan tekanan ekonomi urban.
- Media Sosial: Meme dan video di X, seperti postingan @kompascom, memperkuat viralitas fenomena ini.
- Realitas Sosial: Mal menjadi ruang publik gratis untuk hiburan murah di tengah biaya hidup tinggi, menurut ANTARA.
Dampak Positif
Meski menurunkan omzet, Rojali meningkatkan kunjungan mal, menciptakan potensi pembelian impulsif, terutama di F&B, seperti yang disebutkan Hippindo.
Tips Menghadapi Fenomena Rojali dan Rohana
Bagi Konsumen
- Belanja Bijak: Prioritaskan kebutuhan daripada window shopping untuk mendukung pedagang lokal.
- Manfaatkan Promo: Cari diskon di mal atau daring untuk menghemat anggaran.
- Kurangi Konten Berlebihan: Hindari nongkrong hanya untuk konten media sosial tanpa transaksi.
Bagi Pelaku Usaha
- Tawarkan Harga Kompetitif: Produk murah menarik kelas menengah-bawah, menurut APPBI.
- Kreatifkan Pengalaman: Sediakan event atau spot foto untuk mendorong pembelian impulsif.
- Gunakan Omnichannel: Kombinasikan penjualan offline dan online untuk menjangkau Rojali yang showrooming.
Kesimpulan: Memahami Rojali dan Rohana di Era Ekonomi Sulit
Fenomena Rojali dan Rohana adalah cerminan perubahan perilaku konsumen di Indonesia, didorong oleh melemahnya daya beli, kebutuhan sosial, dan tren media sosial. Rojali (rombongan jarang beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) memadati mal untuk interaksi sosial, healing, atau konten, tetapi minim transaksi, menurunkan omzet ritel fesyen meski menguntungkan F&B. Psikologis, fenomena ini memenuhi kebutuhan validasi diri, sementara ekonomis, ini terkait PHK dan tekanan global. Meski bukan hal baru, intensitasnya meningkat pasca-Ramadan 2024, menurut APPBI. Pemerintah perlu intervensi melalui lapangan kerja, sementara mal harus beradaptasi dengan omnichannel dan hiburan. Dengan memahami 7 fakta fenomena Rojali dan Rohana, konsumen dan pelaku usaha dapat beradaptasi lebih bijak di tengah ekonomi sulit.
Pencarian Utama:
- fenomena Rojali dan Rohana
- rombongan jarang beli
- rombongan hanya nanya
- daya beli masyarakat
- pusat perbelanjaan Indonesia
- omzet ritel turun
- perilaku konsumen mal
- psikologi Rojali Rohana
- ekonomi Indonesia 2025
- APPBI daya beli
Pencarian Pendukung:
- viral TikTok Rojali
- sindiran sosial mal
- kebutuhan sosial mal
- konten media sosial
- omnichannel ritel
- F&B omzet naik
- PHK ekonomi Indonesia
- mal ruang hiburan
- window shopping mal
- interaksi sosial mal