Hukuman Mati di KUHP Baru: Masa Percobaan 10 Tahun Sebagai Pendekatan Baru

Oleh: Penulis sentiment.co.id

Jakarta, 11 April 2025 – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan diterapkan secara khusus dengan pendekatan yang lebih humanis. Salah satu poin penting yang disoroti adalah adanya masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana hukuman mati sebelum eksekusi dilakukan. Kebijakan ini menjadi sorotan karena dianggap sebagai langkah progresif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Menurut Yusril, mekanisme masa percobaan ini memungkinkan terpidana untuk menunjukkan perubahan perilaku atau pertobatan selama periode tersebut. Jika dalam kurun waktu 10 tahun terpidana menunjukkan itikad baik, seperti perilaku yang positif atau kontribusi tertentu kepada masyarakat, hukuman mati dapat diubah menjadi hukuman seumur hidup atau bahkan dikurangi menjadi hukuman penjara dengan batas waktu tertentu. Namun, jika tidak ada perubahan signifikan, eksekusi hukuman mati tetap dapat dilaksanakan setelah masa percobaan berakhir.

Latar Belakang Kebijakan

Dampak Politik Dahsyat Goblog 2025

Hukuman mati telah lama menjadi topik kontroversial di Indonesia. Di satu sisi, pendukung hukuman mati berargumen bahwa sanksi ini diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap kejahatan berat, seperti terorisme, perdagangan narkoba, atau pembunuhan berencana. Di sisi lain, kelompok yang menentang hukuman mati menilai bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Selain itu, risiko kesalahan vonis dalam sistem peradilan juga menjadi kekhawatiran serius.

KUHP baru yang mulai berlaku pada Januari 2023 mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan dua pandangan tersebut. Dengan memperkenalkan masa percobaan 10 tahun, hukuman mati tidak lagi dipandang sebagai keputusan final yang bersifat mutlak, melainkan memberikan ruang bagi evaluasi lebih lanjut terhadap terpidana.

Pandangan Yusril Ihza Mahendra

Yusril menjelaskan bahwa pendekatan ini mencerminkan semangat restorative justice, di mana sistem hukum tidak hanya bertujuan untuk menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki. “Hukuman mati tetap ada sebagai bentuk keadilan bagi korban dan masyarakat, tetapi masa percobaan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membuktikan bahwa mereka layak mendapat keringanan,” ujarnya dalam sebuah diskusi hukum di Jakarta, baru-baru ini.

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini sejalan dengan perkembangan hukum pidana di beberapa negara lain yang masih mempertahankan hukuman mati, namun dengan mekanisme pengawasan ketat dan peluang untuk pengampunan. Menurut Yusril, Indonesia tidak ingin dianggap sebagai negara yang “kejam” dalam menegakkan hukum, tetapi tetap tegas terhadap pelaku kejahatan berat.

Partai Amerika: Ambisi Elon Musk Mengguncang Politik AS dengan Visi Kebebasan dan Efisiensi

Tanggapan Publik

Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Sebagian kalangan menyambut baik pendekatan baru ini karena dianggap lebih manusiawi dan memberikan harapan bagi terpidana untuk berubah. “Saya pikir ini langkah yang bagus. Tidak semua orang jahat selamanya. Kalau mereka bisa bertobat, kenapa tidak diberi kesempatan?” ujar Rina, seorang pegawai swasta di Jakarta.

Namun, ada pula yang skeptis terhadap efektivitas kebijakan ini. Menurut aktivis hak asasi manusia, Haris Azhar, masa percobaan 10 tahun bisa menjadi “pedang bermata dua”. Ia khawatir bahwa kebijakan ini justru mempersulit penghapusan total hukuman mati di masa depan. “Ini seperti kompromi yang setengah hati. Kalau memang ingin humanis, kenapa tidak hapus saja hukuman mati dan ganti dengan hukuman seumur hidup?” katanya.

Sementara itu, keluarga korban kejahatan berat sering kali merasa bahwa masa percobaan ini mengurangi rasa keadilan bagi mereka. “Pelaku kejahatan berat harus dihukum setimpal, tanpa ditunda-tunda. Masa percobaan ini seperti main-main dengan perasaan korban,” ungkap Budi, seorang ayah yang kehilangan anaknya akibat kasus pembunuhan.

Tantangan Implementasi

Indonesia di Tengah Konflik Global, Prabowo: Kita Selalu Memilih Jalan Tengah

Meski konsepnya menarik, implementasi masa percobaan 10 tahun ini tidak akan mudah. Sistem pemantauan terhadap perilaku terpidana selama periode tersebut membutuhkan sumber daya yang besar, termasuk tenaga profesional seperti psikolog, pekerja sosial, dan petugas lapas yang terlatih. Selain itu, kriteria “perubahan perilaku” yang menjadi dasar pengurangan hukuman juga harus jelas dan transparan agar tidak menimbulkan kontroversi atau tuduhan diskriminasi.

Pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak disalahgunakan, misalnya untuk memberikan keringanan kepada pelaku kejahatan tertentu yang memiliki koneksi politik atau ekonomi. Integritas sistem peradilan akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.

Kesimpulan

Penerapan hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun dalam KUHP baru menunjukkan upaya Indonesia untuk menyesuaikan sistem hukum pidana dengan nilai-nilai kemanusiaan, tanpa menghilangkan aspek keadilan bagi masyarakat. Meski masih menuai pro dan kontra, kebijakan ini membuka ruang diskusi lebih luas tentang bagaimana negara dapat menegakkan hukum secara adil sekaligus memberikan kesempatan untuk perbaikan.

Ke depan, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada transparansi, integritas, dan komitmen pemerintah dalam menjalankannya. Publik akan terus memantau bagaimana pendekatan baru ini diterapkan dalam praktik, dan apakah ia benar-benar mampu menciptakan keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan.

Penulis sentiment.co.id

sentiment: