Israel geram ancam Inggris atas rencana pengakuan negara Palestina di Sidang Umum PBB pada September 2025. Ketahui latar belakang, respons, dan dampak terhadap hubungan diplomatik kedua negara.
Israel Geram Ancam Inggris: Latar Belakang Ancaman
Israel geram ancam Inggris setelah Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB September 2025, kecuali Israel memenuhi syarat tertentu, termasuk gencatan senjata di Gaza dan komitmen terhadap solusi dua negara. Pengumuman ini memicu reaksi keras dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang menyebut langkah Inggris sebagai “hadiah bagi terorisme Hamas” dan berpotensi mengancam keamanan Israel.
Ancaman Israel mencakup kemungkinan penghentian kerja sama keamanan dengan Inggris, termasuk berbagi intelijen yang selama ini membantu mencegah ancaman teroris, seperti plot terkait Iran di Kedutaan Israel di London. Langkah ini menandakan ketegangan baru dalam hubungan diplomatik kedua negara, yang secara historis memiliki kerja sama erat di bidang pertahanan dan teknologi.
Latar Belakang Konflik dan Pengakuan Palestina
Rencana Inggris untuk mengakui negara Palestina muncul di tengah krisis kemanusiaan di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina sejak Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Starmer menyoroti kondisi “tak tertahankan” di Gaza, termasuk kelaparan massal dan kematian anak-anak, sebagai alasan utama kebijakan ini. Inggris menuntut Israel menghentikan operasi militer, mengizinkan bantuan kemanusiaan, dan menghentikan rencana aneksasi Tepi Barat untuk menghindari pengakuan sepihak.
Namun, Israel menilai langkah ini sebagai bentuk tekanan diplomatik yang melemahkan posisinya dalam perang melawan Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel, Inggris, dan banyak negara lain. Netanyahu menegaskan bahwa negara Palestina di perbatasan Israel akan menjadi “landasan untuk menghancurkan Israel,” bukan solusi damai.
Respons Inggris dan Tekanan Internal
Pemerintah Inggris, di bawah kepemimpinan Partai Buruh, menghadapi tekanan domestik yang kuat untuk mengambil sikap lebih keras terhadap Israel. Lebih dari separuh anggota parlemen Buruh menandatangani surat yang mendesak pengakuan segera negara Palestina sebagai leverage untuk mendorong perdamaian. Menteri Luar Negeri David Lammy menegaskan bahwa pengakuan Palestina tidak bertentangan dengan dukungan terhadap keamanan Israel, seraya menyerukan gencatan senjata dan pembebasan sandera oleh Hamas.
Inggris juga menanggapi kritik Israel dengan menolak tuduhan bahwa langkah ini “menghadiahi Hamas.” Menteri Bayangan Ellie Alexander menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendukung rakyat Palestina, bukan kelompok militan, dan menyoroti perlunya bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza. Keputusan ini sejalan dengan langkah Prancis, yang juga mengumumkan pengakuan Palestina tanpa syarat pada Juli 2025, menjadikannya negara G7 pertama yang melakukannya.
Dampak terhadap Hubungan Israel-Inggris
Hubungan Israel-Inggris, yang telah terjalin erat sejak pembentukan Israel pada 1948, kini berada di ujung tanduk. Selama ini, kedua negara bekerja sama dalam riset teknologi, pertahanan, dan intelijen. Namun, ancaman Israel untuk menghentikan kerja sama keamanan, termasuk berbagi intelijen melalui Mossad, dapat berdampak serius bagi kedua belah pihak. Inggris bergantung pada intelijen Israel untuk mencegah ancaman teroris, sementara Israel memanfaatkan hubungan diplomatik dengan Inggris untuk memperkuat posisinya di Eropa.
Menurut para ahli, penghentian kerja sama ini akan merugikan kedua negara, terutama di bidang keamanan dan ekonomi. Inggris telah menghasilkan £1,2 miliar dan 16.000 lapangan kerja melalui kemitraan dengan perusahaan teknologi Israel sejak 2011. Sebaliknya, Israel juga bergantung pada dukungan diplomatik Inggris di forum internasional.
Perspektif Internasional dan Solusi Dua Negara
Pengakuan negara Palestina oleh Inggris, jika terwujud, akan menempatkan Inggris bersama lebih dari 140 negara yang telah mengakui Palestina, termasuk Spanyol, Irlandia, dan Norwegia. Namun, langkah ini menuai kritik dari Amerika Serikat, yang menyebutnya “hadiah bagi propaganda Hamas.” Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menilai pengakuan sepihak merusak upaya perdamaian, sementara Presiden Donald Trump menyatakan tidak membahas isu ini dengan Starmer.
Solusi dua negara, yang menjadi dasar kebijakan Inggris, tetap menjadi konsensus internasional sejak Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 tahun 1967. Namun, dukungan publik di Israel dan Palestina terhadap solusi ini menurun dalam beberapa tahun terakhir, di tengah meningkatnya pemukiman Israel di Tepi Barat dan kekerasan berkelanjutan. Pengadilan Internasional (ICJ) pada Juli 2024 menyatakan pendudukan Israel atas wilayah Palestina sejak 1967 sebagai ilegal, menambah tekanan pada Israel untuk bernegosiasi.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Israel geram ancam Inggris menandakan eskalasi diplomatik yang dapat memperumit upaya perdamaian. Tantangan utama bagi Inggris adalah menyeimbangkan dukungan terhadap Palestina dengan hubungan strategis bersama Israel. Sementara itu, Israel menghadapi isolasi diplomatik yang semakin dalam, terutama setelah Prancis dan Inggris mengambil sikap pro-Palestina.
Bagi masyarakat internasional, krisis kemanusiaan di Gaza tetap menjadi prioritas. Laporan PBB menunjukkan 1,7 juta warga Gaza (77% dari populasi) telah mengungsi, dengan 20.000 anak menderita malnutrisi akut. Inggris berupaya mendorong bantuan kemanusiaan melalui pengiriman udara dan desakan agar truk bantuan diizinkan masuk.
Menuju Resolusi Konflik
Untuk mengatasi ketegangan ini, Inggris perlu memperkuat diplomasi dengan melibatkan mitra regional seperti Yordania dan Arab Saudi, yang juga mendukung solusi dua negara. Israel, di sisi lain, harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari ancamannya terhadap Inggris, mengingat pentingnya hubungan bilateral. Hamas juga harus memenuhi tuntutan internasional, seperti membebaskan sandera dan mendukung gencatan senjata, untuk membuka jalan bagi negosiasi.
Kesimpulan
Israel geram ancam Inggris atas rencana pengakuan negara Palestina mencerminkan kompleksitas konflik Israel-Palestina. Dengan krisis kemanusiaan di Gaza dan tekanan internasional yang meningkat, Inggris berupaya mendorong perdamaian melalui pengakuan Palestina, tetapi menghadapi resistensi keras dari Israel. Langkah ke depan memerlukan diplomasi yang hati-hati, komitmen terhadap hukum internasional, dan kerja sama global untuk mewujudkan solusi dua negara yang berkelanjutan.