“Larangan Menggugurkan Kandungan di Indonesia: Dari Hukum hingga Nilai Budaya”
Penulis: Sentiment.co.id
Menggugurkan kandungan, atau aborsi, adalah isu yang tidak pernah kehilangan relevansi di Indonesia. Hingga tahun 2025, larangan terhadap praktik ini tetap menjadi salah satu kebijakan yang paling teguh dipegang, baik dari sisi hukum, etika, maupun sosial. Mengapa aborsi dilarang? Apa yang mendasari aturan ini, dan bagaimana masyarakat menanggapinya? Artikel ini akan menjelaskan secara rinci landasan hukum, pandangan moral, dampak sosial, serta alternatif yang ditawarkan dalam menghadapi isu sensitif ini.
1. Dasar Hukum Larangan Aborsi di Indonesia
Di Indonesia, aborsi bukanlah hal yang bisa dilakukan sembarangan. Hukum dengan tegas melarangnya, kecuali dalam kondisi tertentu yang diatur secara ketat. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi landasan utama, khususnya pada Pasal 346 yang menyatakan bahwa setiap orang yang sengaja menggugurkan kandungan dapat dipidana penjara hingga empat tahun. Pasal 347 dan 348 bahkan memperberat hukuman bagi dokter atau tenaga medis yang membantu aborsi ilegal, dengan ancaman hingga 10 tahun penjara.
Selain KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian terbatas. Aborsi diperbolehkan hanya jika kehamilan membahayakan nyawa ibu atau janin memiliki kelainan berat yang tidak memungkinkan kehidupan di luar rahim. Pengecualian lain adalah kehamilan akibat perkosaan, tetapi harus dilakukan sebelum usia kehamilan mencapai 40 hari dan melalui prosedur yang melibatkan persetujuan dokter serta konseling. Di luar ketentuan ini, aborsi dianggap melanggar hukum dan dapat berujung pada konsekuensi serius.
Pada tahun 2025, pemerintah terus memperkuat pengawasan terhadap klinik atau praktik ilegal yang menawarkan jasa aborsi. Teknologi seperti pelacakan digital dan laporan masyarakat menjadi alat untuk meminimalkan pelanggaran, menunjukkan komitmen negara dalam menegakkan larangan ini.
2. Pandangan Etika dan Agama
Larangan aborsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai etika dan agama yang mengakar kuat dalam masyarakat. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, ajaran Islam memiliki pengaruh besar. Dalam Al-Qur’an, Surah Al-An’am ayat 151 menyatakan larangan membunuh anak karena alasan apa pun, yang sering diinterpretasikan sebagai perlindungan terhadap janin. Ulama juga sepakat bahwa setelah ruh ditiupkan ke dalam janin (sekitar 120 hari kehamilan), aborsi hanya boleh dilakukan jika nyawa ibu benar-benar terancam.
Agama lain pun memiliki pandangan serupa. Dalam Kristen, kehidupan dianggap suci sejak pembuahan, sebagaimana tertuang dalam Kitab Kejadian. Hindu dan Buddha juga menekankan prinsip ahimsa (tidak menyakiti makhluk hidup), yang mencakup perlindungan terhadap janin. Dengan demikian, larangan aborsi bukan hanya soal hukum, tetapi juga cerminan dari konsensus moral lintas agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia.
Namun, tidak semua pandangan seragam. Sebagian kecil kelompok progresif berargumen bahwa wanita harus memiliki otonomi atas tubuhnya, terutama dalam kasus kehamilan yang tidak diinginkan akibat kekerasan atau kondisi ekonomi. Meski demikian, suara ini sering kali tenggelam di tengah arus utama yang menjunjung tinggi nilai kehidupan.
3. Dampak Sosial dan Realitas di Lapangan
Larangan aborsi tidak hanya menciptakan batasan hukum, tetapi juga membawa dampak sosial yang kompleks. Di satu sisi, aturan ini melindungi janin dan mendorong tanggung jawab atas kehamilan. Di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa larangan tidak sepenuhnya menghentikan praktik aborsi ilegal. Data dari Kementerian Kesehatan memperkirakan ratusan ribu aborsi ilegal terjadi setiap tahun di Indonesia, sering kali dilakukan dalam kondisi tidak aman oleh dukun atau klinik bawah tanah.
Konsekuensinya tragis. Wanita yang menjalani aborsi ilegal berisiko mengalami infeksi, pendarahan hebat, hingga kematian. Stigma sosial memperparah situasi ini. Mereka yang ketahuan sering dihakimi oleh keluarga, tetangga, atau komunitas, bahkan jika tindakan tersebut dilakukan karena tekanan ekonomi atau trauma. Di daerah pedesaan, akses terbatas terhadap informasi dan layanan kesehatan memperburuk masalah, mendorong banyak wanita mengambil risiko yang tidak perlu.
Pada tahun 2025, perkembangan teknologi medis dan kesadaran masyarakat mulai mengubah lanskap ini. Namun, tantangan tetap ada, terutama di wilayah terpencil di mana edukasi dan fasilitas kesehatan masih minim.
4. Alternatif dan Solusi Modern
Daripada membiarkan aborsi ilegal berkembang, pemerintah dan organisasi non-pemerintah (NGO) berupaya menawarkan solusi alternatif. Pertama, edukasi kesehatan reproduksi menjadi prioritas. Program seperti yang dijalankan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kini memanfaatkan platform digital untuk menjangkau generasi muda, mengajarkan pentingnya perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi.
Kedua, akses terhadap alat kontrasepsi semakin diperluas. Pada 2025, inovasi seperti kontrasepsi jangka panjang (implan dan IUD) tersedia dengan harga terjangkau di puskesmas, bahkan gratis bagi keluarga kurang mampu. Ketiga, layanan konseling dan pendampingan bagi ibu hamil—terutama yang mengalami kehamilan tak diinginkan—diperkuat untuk memberikan dukungan emosional dan praktis, termasuk opsi adopsi jika dibutuhkan.
Pemerintah juga berkolaborasi dengan komunitas agama dan adat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kehamilan, mengurangi tekanan yang mendorong seseorang mempertimbangkan aborsi. Kampanye “Sayangi Hidup” yang diluncurkan pada 2024, misalnya, berhasil meningkatkan kesadaran tentang nilai kehidupan sekaligus mempromosikan solusi legal.
5. Tantangan di Masa Depan
Meski larangan aborsi memiliki dasar kuat, tantangan di masa depan tetap ada. Globalisasi dan pengaruh budaya Barat membawa ide-ide baru tentang hak individu, yang kadang bertentangan dengan nilai lokal. Selain itu, disparitas akses kesehatan antar daerah masih menjadi pekerjaan rumah. Bagaimana Indonesia menyeimbangkan antara menjaga nilai budaya dan memberikan solusi bagi mereka yang terdesak?
Pada akhirnya, larangan ini bukan hanya soal melarang, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mendukung kehidupan—baik janin maupun ibunya. Di tahun 2025, langkah menuju sistem seperti itu tampak semakin nyata, meski perjalanan masih panjang.
Kesimpulan
Larangan menggugurkan kandungan di Indonesia adalah cerminan dari hukum, etika, dan budaya yang saling terjalin. Dengan KUHP dan UU Kesehatan sebagai payung hukum, serta nilai agama dan sosial sebagai fondasi moral, kebijakan ini bertujuan melindungi kehidupan sekaligus mendorong tanggung jawab bersama. Namun, larangan saja tidak cukup. Edukasi, akses kesehatan, dan dukungan sosial harus terus ditingkatkan agar tidak ada lagi nyawa yang hilang—baik janin maupun ibu—akibat keputusan yang terpaksa. Di tengah dinamika zaman, Indonesia terus mencari keseimbangan antara prinsip dan kemanusiaan.