Penulis: Tim Sentiment.co.id
Tanggal: 11 April 2025
Kasus dugaan pemerkosaan yang melibatkan dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama, di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, terus menjadi sorotan publik. Kejadian yang terjadi pada 18 Maret 2025 ini tidak hanya mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi kesehatan, tetapi juga mengungkap fakta-fakta baru yang mencengangkan terkait perilaku pelaku.
Kronologi Kejadian
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Priguna Anugerah Pratama, dokter residen spesialis anestesi berusia 31 tahun, diduga melakukan pemerkosaan terhadap seorang wanita berusia 21 tahun, yang merupakan anak dari pasien yang dirawat di RSHS. Korban, yang saat itu tengah menemani ayahnya, diminta oleh Priguna untuk melakukan pengambilan darah dengan alasan medis. Dalam proses tersebut, Priguna menyuntikkan obat Midazolam—sebuah anestesi yang biasa digunakan untuk membuat pasien tidak sadarkan diri—kepada korban. Setelah korban pingsan, pelaku diduga melakukan aksi bejatnya.
Korban baru menyadari kejanggalan saat terbangun sekitar pukul 04.00 WIB dan merasakan sakit saat buang air kecil. Setelah melaporkan kejadian ini kepada pihak keluarga dan kepolisian, visum yang dilakukan mengkonfirmasi adanya tindakan kekerasan seksual. Priguna kemudian ditangkap pada 23 Maret 2025 dan resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Barat.
Fantasi Seksual Tak Lazim
Penyelidikan polisi mengungkap fakta mencengangkan tentang motif di balik tindakan Priguna. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan, menyatakan bahwa dari pemeriksaan awal, pelaku diduga memiliki kelainan seksual atau fetish yang tidak biasa. Priguna disebut memiliki ketertarikan khusus terhadap orang yang tidak sadarkan diri atau pingsan. Pengakuan ini, meskipun masih perlu diperkuat dengan pemeriksaan psikologi forensik, menjadi petunjuk awal tentang pola pikir pelaku.
“Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengakui memiliki fetish terhadap wanita yang tak sadarkan diri. Kami akan melibatkan ahli psikologi dan forensik untuk mendalami dugaan adanya penyimpangan seksual ini,” ujar Surawan dalam konferensi pers pada 9 April 2025.
Psikiater dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ, menjelaskan bahwa perilaku semacam ini bisa terkait dengan gangguan parafilia, di mana seseorang mendapatkan kepuasan seksual dari situasi atau objek yang tidak umum. Namun, ia menegaskan bahwa diagnosis pasti memerlukan asesmen mendalam untuk memahami pemicu dan tingkat gangguan yang dialami pelaku.
Dampak dan Respons Institusi
Kasus ini telah memicu gelombang kemarahan di kalangan masyarakat dan menimbulkan pertanyaan besar tentang pengawasan di lingkungan rumah sakit. Universitas Padjadjaran dengan tegas mengeluarkan Priguna dari program PPDS dan mencabut statusnya sebagai mahasiswa. Sementara itu, Kementerian Kesehatan memerintahkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dan izin praktik Priguna, serta menghentikan sementara program PPDS Anestesi di RSHS selama satu bulan untuk evaluasi.
Manajemen RSHS juga mendapat kritik tajam dari keluarga korban. Kakak ipar korban, Agus, menyatakan bahwa pihak rumah sakit belum menyampaikan permintaan maaf resmi hingga saat ini. “Kami kecewa karena ada kesan pengabaian. Bahkan security sempat berkata tidak pantas kepada adik saya setelah kejadian,” ungkapnya.
Meski demikian, keluarga korban mengaku telah menerima permintaan maaf dari pihak Priguna melalui perwakilan keluarga sebelum kasus ini viral di media. Namun, mereka tetap bersikukuh agar proses hukum dilanjutkan sebagai bentuk keadilan bagi korban.
Tuntutan Hukum dan Sorotan Publik
Priguna kini dijerat dengan Pasal 6 huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun. Polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya korban lain, setelah muncul dugaan bahwa Priguna telah melakukan tindakan serupa terhadap dua orang lainnya dengan modus yang sama.
Kasus ini tidak hanya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pengawasan ketat terhadap tenaga medis, tetapi juga menyoroti perlunya seleksi psikologis yang lebih ketat dalam penerimaan mahasiswa kedokteran. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, bahkan meminta evaluasi total terhadap proses rekrutmen mahasiswa fakultas kedokteran agar kejadian serupa tidak terulang.
Penutup
Tragedi di RSHS Bandung ini menjadi pengingat pahit bahwa profesi mulia seperti dokter tidak kebal dari perilaku menyimpang. Masyarakat kini menanti langkah tegas dari pihak berwenang untuk memastikan keadilan ditegakkan dan sistem kesehatan diperbaiki demi melindungi publik dari ancaman serupa di masa depan. Kasus Priguna Anugerah Pratama bukan hanya tentang satu individu, tetapi juga tentang tanggung jawab kolektif untuk menjaga integritas dunia medis.
Sentiment.co.id akan terus memantau perkembangan kasus ini dan menyajikan informasi terkini kepada pembaca.