Jakarta, Minggu (7/9/2025) — Gelombang kritik publik membuat sejumlah partai menonaktifkan kadernya yang duduk di DPR RI. Namun, pengamat politik BRIN Prof. Lili Romli menilai langkah tersebut cenderung sebatas pencitraan apabila tidak diikuti Pergantian Antar Waktu (PAW) dan sanksi etik yang nyata.
“Jika nonaktif tidak berujung pada PAW, hanya diberhentikan sementara, itu bisa disebut pencitraan,” ujar Lili.
“Publik bisa melihatnya sebagai lips service yang tidak menunjukkan komitmen.”
Ia mengingatkan, tindakan simbolik tanpa konsekuensi politik justru berisiko memicu kemarahan lanjutan karena publik merasa dipermainkan.
Siapa Saja yang Disebut?
- PAN: Eko Patrio, Uya Kuya (dinonaktifkan DPP).
- NasDem: Ahmad Sahroni, Nafa Urbach.
- Golkar: Adies Kadir (Wakil Ketua DPR RI).
Wakil Ketua DPR Saan Mustopa sebelumnya menyebut, anggota yang dinonaktifkan akan diproses melalui mekanisme internal partai/mahkamah partai karena perkara etik, yang dapat berujung PAW.
Kenapa PAW Penting?
- Memberi konsekuensi nyata atas pelanggaran etik/kepercayaan publik.
- Menunjukkan kesungguhan partai menjawab tuntutan akuntabilitas.
- Mengembalikan legitimasi wakil rakyat di mata pemilih.
Apa yang Ditunggu Publik?
- Transparansi alasan penonaktifan dan hasil sidang etik/mahkamah partai.
- Timeline jelas proses PAW (jika diputuskan).
- Sanksi terukur sesuai pelanggaran, bukan sekadar pernyataan media.
Ringkasnya
Penonaktifan tanpa PAW = gestur politik. Penonaktifan yang disertai proses etik terbuka dan PAW (bila terbukti) = komitmen akuntabilitas.
Komentar