Penulis: Tim Sentiment.co.id
Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang agresif, menandai dimulainya babak baru dalam apa yang dikenal sebagai “Perang Dagang Trump”. Kebijakan ini mencakup tarif dasar sebesar 10% untuk semua barang impor yang masuk ke AS, ditambah tarif tambahan yang lebih tinggi untuk negara-negara tertentu berdasarkan prinsip “tarif timbal balik” (reciprocal tariff). Langkah ini, yang disebut Trump sebagai “Hari Pembebasan Ekonomi”, bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan AS, melindungi lapangan kerja lokal, dan mendorong produksi dalam negeri sesuai dengan visi “America First”. Namun, kebijakan ini juga memicu kekhawatiran global akan eskalasi perang dagang yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi dunia.
Latar Belakang Kebijakan Tarif Trump
Kebijakan tarif Trump bukanlah hal baru. Selama masa kepresidenannya yang pertama (2017-2021), ia telah menerapkan tarif tinggi terhadap berbagai negara, terutama China, sebagai bagian dari strategi proteksionisme. Pada Juli 2018, misalnya, Trump mengenakan tarif sebesar $34 miliar pada barang-barang China, yang kemudian memicu respons balasan dari Beijing. Perang dagang AS-China ini berlangsung hingga kesepakatan fase pertama diteken pada Januari 2020, meskipun ketegangan tetap ada. Kini, di periode keduanya, Trump memperluas cakupan tarifnya, menargetkan lebih dari 180 negara dan wilayah, termasuk mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan China.
Trump berargumen bahwa tarif ini diperlukan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan AS yang terus mengalami defisit, terutama dengan negara-negara seperti China (67% tarif efektif terhadap AS) dan Indonesia (defisit $18 miliar). Selain itu, ia menekankan bahwa kebijakan ini akan mendorong perusahaan asing untuk membangun pabrik di AS demi menghindari tarif, sehingga membuka lapangan kerja bagi warga Amerika. Dalam pidatonya pada 2 April 2025, Trump menyatakan, “Mereka mengenakan tarif kepada kami, kami mengenakan tarif kepada mereka. Ini bukan balas dendam, ini strategi.”
Implementasi dan Respons Global
Tarif yang diberlakukan Trump bervariasi tergantung pada hubungan dagang masing-masing negara dengan AS. Misalnya, Indonesia dikenakan tarif timbal balik sebesar 32%, sementara China menghadapi tarif tambahan yang meningkat dari 10% menjadi 20% pada 4 Maret 2025, dengan ancaman kenaikan lebih lanjut hingga 50%. Kanada dan Meksiko, dua tetangga AS, dikenakan tarif 25%, meskipun ada pengecualian sementara untuk produk otomotif di bawah Perjanjian AS-Meksiko-Kanada (USMCA).
Respons dunia terhadap kebijakan ini cepat dan beragam. Kanada, di bawah Perdana Menteri Justin Trudeau, menyatakan kekecewaannya dan mengancam akan membalas dengan tarif serupa terhadap produk AS seperti energi dan kayu. Sementara itu, China mengecam langkah ini sebagai “proteksionisme yang merusak” dan mengisyaratkan pembalasan terhadap ekspor AS seperti kedelai dan teknologi. Di Indonesia, pelaku usaha khawatir bahwa tarif 32% akan memukul ekspor utama seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik ke AS, yang merupakan salah satu pasar terbesar bagi produk Indonesia.
Dampak Ekonomi dan Prospek ke Depan
Analis ekonomi memprediksi bahwa kebijakan ini dapat memicu inflasi di AS karena kenaikan harga barang impor, sementara konsumen Amerika kemungkinan akan menanggung beban tambahan. Di sisi lain, negara-negara yang terkena dampak mungkin akan mencari pasar alternatif atau mempercepat diversifikasi ekonomi mereka. Bagi Indonesia, misalnya, ini bisa menjadi peluang untuk memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara ASEAN atau Uni Eropa.
Namun, tidak semua pihak pesimistis. Pendukung Trump berpendapat bahwa dalam jangka panjang, tarif ini akan memaksa negara-negara lain untuk menegosiasikan ulang perjanjian dagang dengan AS, yang pada akhirnya menguntungkan ekonomi Amerika. Meski begitu, ketidakpastian tetap membayangi, terutama jika perang dagang ini berlarut-larut dan memicu perlambatan ekonomi global.
Sebagai penutup, “Perang Dagang Trump” edisi 2025 ini menunjukkan bahwa strategi proteksionisme masih menjadi senjata utama dalam agenda ekonomi Trump. Apakah langkah ini akan membawa kemakmuran bagi AS atau justru memicu krisis baru, hanya waktu yang bisa menjawab. Yang jelas, dunia sedang bersiap menghadapi gelombang baru ketegangan ekonomi.
Artikel ini ditulis oleh Tim Sentiment.co.id berdasarkan perkembangan terkini hingga April 2025.