Polemik royalti musik membuat kafe hening tanpa lagu Indonesia. Pemerintah cari jalan tengah untuk seimbangkan hak musisi dan pelaku usaha. Ketahui fakta lengkapnya!
Polemik Royalti Musik: Kafe Hening Tanpa Lagu
Polemik Royalti Musik: Kafe Hening, Pemerintah Cari Jalan Tengah mencuat sejak Juli 2025, ketika sejumlah kafe dan restoran di Indonesia, terutama di Jakarta Selatan, berhenti memutar lagu Indonesia karena takut dikenai royalti. Kebijakan ini, diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021, memicu keresahan pelaku usaha kecil. Pemerintah kini berupaya mencari solusi adil antara hak pencipta lagu dan keberlangsungan usaha mikro. Berikut analisis mendalam tentang akar masalah, dampak, dan langkah penyelesaian.
1. Akar Polemik Royalti Musik
Akar Polemik Royalti Musik berasal dari kewajiban pelaku usaha membayar royalti untuk pemutaran lagu di ruang komersial, seperti kafe, restoran, hotel, dan pusat kebugaran. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bertugas mengelola royalti ini, menyalurkan hak ekonomi kepada pencipta, penyanyi, dan produser. Namun, kasus Mie Gacoan di Bali, yang ditetapkan sebagai tersangka karena memutar lagu tanpa izin sejak 2022, memicu ketakutan pelaku usaha. Banyak kafe, terutama di Tebet, Jakarta Selatan, beralih ke lagu barat, musik instrumental, atau suara alam untuk menghindari sanksi.
Kebijakan ini diperparah oleh klausul bahwa langganan pribadi Spotify atau YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran komersial. Direktur Hak Cipta Kemenkumham, Agung Damarsasongko, menegaskan bahwa lagu dari platform digital tetap wajib berlisensi untuk penggunaan publik. Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, juga menyatakan bahwa suara alam rekaman, seperti kicauan burung, termasuk dalam hak cipta fonogram, sehingga tetap dikenai royalti. Hal ini memicu kebingungan dan ketidakpastian di kalangan pengusaha.
2. Dampak pada Pelaku Usaha
Dampak pada Pelaku Usaha sangat signifikan. Banyak kafe, seperti di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan, memilih tidak memutar musik sama sekali, menciptakan suasana “hening” yang dianggap sepi oleh karyawan dan pelanggan. Seorang karyawan restoran, Gusti, mengatakan bahwa tanpa musik, suasana kerja terasa “anyep” dan pelanggan kehilangan hiburan. Kafe lain, seperti di Tebet Barat, beralih ke lagu barat, namun LMKN menegaskan bahwa musik asing juga wajib berlisensi karena Indonesia terikat perjanjian internasional.
Pelaku usaha kecil, terutama UMKM, merasa terbebani oleh tarif royalti. Berdasarkan SK Menkumham HKI.02/2016, kafe dan restoran dikenai Rp60.000 per kursi per tahun untuk royalti pencipta dan Rp60.000 untuk hak terkait, total Rp120.000 per kursi. Untuk kafe dengan 100 kursi, biaya mencapai Rp12 juta per tahun, angka yang signifikan bagi usaha mikro. Ketakutan ini diperparah oleh minimnya sosialisasi prosedur pembayaran, membuat pengusaha cemas terjerat hukum seperti Mie Gacoan.
3. Dampak pada Industri Musik
Dampak pada Industri Musik juga kompleks. Di satu sisi, musisi mendukung royalti sebagai penghargaan atas karya mereka. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa royalti bukan pajak negara, melainkan hak ekonomi pencipta, disalurkan 100% melalui LMKN. Pada 2024, LMKN mendistribusikan Rp54,2 miliar, naik signifikan dari Rp495 juta pada 1991. Namun, musisi seperti Monita Tahalea mempertanyakan transparansi penyaluran, dengan laporan keuangan LMKN yang tidak rinci.
Di sisi lain, musisi khawatir kebijakan ini justru membatasi pemutaran lagu lokal. Banyak kafe beralih ke musik asing atau instrumental, mengurangi eksposur karya Indonesia. Pengamat musik Wendi Putranto menyarankan lisensi Creative Commons sebagai alternatif, memungkinkan pemutaran gratis untuk ambience kafe tanpa royalti. Namun, solusi ini belum diadopsi luas, dan 29 musisi menggugat UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi pada Maret 2025, menuntut revisi aturan royalti.
4. Respon Pemerintah
Respon Pemerintah menunjukkan komitmen mencari jalan tengah. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, pada 5 Agustus 2025, menyatakan pemerintah akan memfasilitasi dialog antara pelaku usaha, musisi, dan LMKN untuk solusi “win-win”. Menteri Kebudayaan Fadli Zon, di Depok pada 3 Agustus 2025, mengakui adanya kesalahpahaman dan ketakutan berlebihan di kalangan pengusaha. Ia berjanji membenahi kebijakan agar tidak membebani UMKM.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, pada 4 Agustus 2025, meminta Kemenkumham menyederhanakan aturan royalti sembari menunggu revisi UU Hak Cipta. Anggota Komisi VII DPR Evita Nursanty menolak skema “satu tarif” untuk semua usaha, menekankan perlunya klasifikasi berdasarkan skala usaha. Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya menegaskan pentingnya kesadaran kolektif terhadap hak cipta, namun menuntut transparansi dalam pemungutan royalti.
5. Tantangan Implementasi Kebijakan
Tantangan Implementasi Kebijakan meliputi kurangnya sosialisasi, kompleksitas prosedur, dan ketidakadilan tarif. Banyak pelaku usaha, seperti Khalis, pemilik kafe di Medan, tidak memahami cara mengurus lisensi melalui LMKN. Asosiasi seperti PHRI dan Apindo mengeluh tentang panduan teknis yang tidak jelas. Pengamat Candra Darusman menyoroti infrastruktur LMKN yang lemah, terutama dalam pelaporan transparan, dengan situs LMKN.id yang tidak menampilkan laporan keuangan rinci.
Tarif royalti juga dianggap tidak proporsional untuk UMKM. Evita Nursanty menyarankan pendekatan berbasis skala usaha, misalnya tarif lebih rendah untuk kafe kecil dibandingkan restoran besar. Pendekatan koersif, seperti penetapan tersangka pada kasus Mie Gacoan, juga memicu ketakutan alih-alih kesadaran, memperburuk hubungan antara pelaku usaha dan musisi.
6. Solusi yang Diusulkan
Solusi yang Diusulkan mencakup beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi melalui kampanye publik dan panduan sederhana tentang prosedur lisensi. LMKN harus membuka saluran komunikasi yang mudah diakses, seperti hotline atau aplikasi, untuk membantu pengusaha kecil. Ikke Nurjanah, duta LMKN, menegaskan kesiapan lembaga untuk berdialog tanpa mempersulit pengguna.
Kedua, revisi tarif royalti harus mempertimbangkan skala usaha. Misalnya, kafe dengan pendapatan tahunan di bawah Rp500 juta bisa mendapat tarif preferensial atau subsidi. Ketiga, LMKN perlu meningkatkan transparansi dengan laporan keuangan publik yang rinci, menjawab keresahan musisi tentang distribusi royalti. Keempat, adopsi lisensi Creative Commons untuk musik ambience kafe bisa menjadi alternatif, seperti disarankan Wendi Putranto, untuk mengurangi beban UMKM.
7. Perspektif Masyarakat dan Pelaku Usaha
Perspektif Masyarakat dan Pelaku Usaha menunjukkan polarisasi. Netizen di media sosial mendukung royalti sebagai penghargaan kepada musisi, namun mengkritik implementasi yang membingungkan. Seorang karyawan kafe di Cikini, Sinta, mengeluh bahwa tanpa musik, suasana kafe terasa “mati”, memengaruhi pengalaman pelanggan. Pemilik kafe di Semarang, Temy, memilih lagu asing untuk menghindari royalti, meski khawatir kehilangan nuansa lokal.
Pelaku usaha seperti Anak Agung Susruta, pemilik supermarket Ayu Nadi di Denpasar, memilih tidak memutar musik sama sekali karena kebingungan aturan. Ia mempertanyakan definisi royalti dan meminta kepastian hukum dari pemerintah. Asosiasi UMKM menilai pemutaran musik di kafe lebih untuk kenyamanan pelanggan, bukan komersialisasi langsung, sehingga seharusnya dikecualikan dari royalti.
8. Peran Musisi dan Penyanyi
Peran Musisi dan Penyanyi juga krusial. Penyanyi seperti Krisdayanti menekankan pentingnya izin dari pencipta lagu sebelum membawakan karya di kafe. Namun, LMKN menegaskan bahwa penyanyi live tidak wajib membayar royalti, melainkan pengelola kafe sebagai pengguna komersial. Hal ini mengurangi beban musisi, namun menambah tanggung jawab pengusaha.
Musisi independen, seperti band Sukatani, memanfaatkan polemik ini untuk menyuarakan kritik melalui lagu “Bayar, Bayar, Bayar”, menyoroti kompleksitas aturan royalti. Kelompok musisi lain, termasuk Marcell Siahaan, mendukung LMKN namun menuntut sistem distribusi yang lebih adil dan transparan.
9. Langkah ke Depan
Langkah ke Depan membutuhkan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah harus memfasilitasi dialog reguler antara Kemenkumham, Kemenparekraf, LMKN, asosiasi UMKM, dan musisi. Revisi UU Hak Cipta, yang sedang digodok DPR, harus mengakomodasi kebutuhan UMKM tanpa mengorbankan hak musisi. Program pelatihan digital untuk UMKM, seperti penggunaan platform musik berlisensi, juga dapat mengurangi pelanggaran tidak disengaja.
Pemerintah juga bisa mencontoh negara seperti Jepang, yang menerapkan tarif royalti berbasis pendapatan usaha, atau Inggris, yang memiliki panduan jelas untuk usaha kecil. Solusi teknologi, seperti aplikasi pelacakan pemutaran lagu, dapat meningkatkan transparansi distribusi royalti, menjawab keresahan musisi dan pengusaha.
Daftar Isi
Kesimpulan
Polemik royalti musik membuat kafe hening tanpa lagu Indonesia, mencerminkan ketegangan antara hak musisi dan keberlangsungan UMKM. Pemerintah berupaya mencari jalan tengah melalui dialog, revisi aturan, dan sosialisasi, namun tantangan seperti transparansi LMKN dan tarif yang tidak proporsional masih menghambat. Solusi seperti lisensi Creative Commons, tarif berbasis skala usaha, dan infrastruktur digital dapat menyeimbangkan kepentingan semua pihak. Kolaborasi musisi, pengusaha, dan pemerintah akan menentukan masa depan industri kreatif Indonesia yang adil dan berkelanjutan.