Tan Malaka vs Soekarno, dua tokoh besar Indonesia dengan visi berbeda. Siapa pahlawan sejati? Telusuri perbandingan ideologi, perjuangan, dan warisan mereka.
Tan Malaka vs Soekarno: Pertarungan Ide dan Perjuangan
Tan Malaka vs Soekarno menjadi perdebatan abadi dalam sejarah Indonesia, mengingat peran monumental keduanya dalam perjuangan kemerdekaan. Tan Malaka, intelektual revolusioner dengan visi sosialisme radikal, dan Soekarno, orator karismatik yang memimpin proklamasi 1945, mewakili dua pendekatan berbeda menuju Indonesia merdeka. Keduanya dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, namun siapa yang lebih layak disebut pahlawan sejati? Artikel pilar ini mengulas perbandingan kehidupan, ideologi, kontribusi, kritik, dan warisan mereka, menjelaskan mengapa keduanya penting bagi Indonesia, dalam 1500 kata yang mendalam dan alami.
1. Latar Belakang Kehidupan dan Pendidikan
Latar Belakang Tan Malaka
Tan Malaka, lahir sebagai Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka pada 2 Juni 1897 di Suliki, Sumatera Barat, berasal dari keluarga Minangkabau terhormat. Menurut Dari Penjara ke Penjara (1948), autobiografinya, ia belajar di Kweekschool Bukittinggi sebelum mendapat beasiswa ke Belanda pada 1913. Di Haarlem, ia mempelajari pendidikan guru, namun paparan sosialisme dan Marxisme mengubah pandangannya. Pengalaman di Eropa, termasuk menyaksikan revolusi Bolshevik 1917, membentuknya menjadi revolusioner. Ia kembali ke Indonesia pada 1919, bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan aktif di Serikat Islam.
Latar Belakang Soekarno
Soekarno, lahir sebagai Kusno Sosrodihardjo pada 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur, berasal dari keluarga priyayi Jawa-Bali. Menurut Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams (1965), ia belajar di Hogere Burgerschool (HBS) Surabaya, lalu lulus sebagai insinyur dari Technische Hoogeschool (kini ITB) Bandung pada 1926. Soekarno terpikat nasionalisme sejak muda, terinspirasi oleh Tjokroaminoto dari Sarekat Islam. Kemampuan orasinya menjadikannya pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927, dengan fokus pada kemerdekaan nasional.
Perbandingan
Tan Malaka lebih terdidik secara internasional, dengan wawasan global dari Eropa, sementara Soekarno lebih berakar pada realitas lokal Indonesia. Pendidikan Tan Malaka membawanya pada ideologi kiri radikal, sedangkan Soekarno mengembangkan nasionalisme inklusif yang memadukan Jawa, Islam, dan modernitas.
2. Ideologi dan Visi Kemerdekaan
Ideologi Tan Malaka
Tan Malaka menganut sosialisme revolusioner, dipengaruhi Marxisme dan Leninisme. Dalam Madilog (1943), ia mengusulkan “Aslia,” konsep Indonesia merdeka yang berbasis pada keadilan sosial dan anti-kapitalisme. Ia menolak kolonialisme Belanda dan feodalisme, menyerukan revolusi rakyat melalui gerakan buruh dan petani. Tan Malaka percaya kemerdekaan harus diraih melalui perjuangan bersenjata, bukan negosiasi, sebagaimana ditulis dalam Aksi Massa (1926). Ia juga mengkritik elitisme dalam perjuangan kemerdekaan, menekankan peran rakyat jelata.
Ideologi Soekarno
Soekarno mengembangkan “Marhaenisme,” ideologi nasionalisme yang mengintegrasikan sosialisme, Islam, dan nasionalisme. Dalam pidato “Indonesia Menggugat” (1930), ia menyerukan persatuan semua golongan—priyayi, buruh, petani, dan ulama—untuk melawan kolonialisme. Soekarno percaya kemerdekaan dicapai melalui diplomasi, propaganda, dan mobilisasi massa, dengan dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Ia menolak komunisme murni, lebih memilih pendekatan inklusif yang mencerminkan keragaman Indonesia.
Perbandingan
Tan Malaka lebih radikal, menyerukan revolusi bersenjata dan fokus pada kelas pekerja, sementara Soekarno lebih moderat, mengutamakan persatuan nasional dan negosiasi. Tan Malaka melihat kemerdekaan sebagai langkah menuju masyarakat sosialis, sedangkan Soekarno fokus pada identitas nasional Indonesia yang plural.
3. Kontribusi dalam Perjuangan Kemerdekaan
Kontribusi Tan Malaka
Tan Malaka memimpin gerakan anti-kolonial melalui PKI sejak 1920-an, mengorganisir mogok buruh di Deli dan Semarang. Ia juga mendirikan Partai Murba pada 1948 untuk melawan kompromi diplomasi Linggarjati dan Renville, yang ia anggap merugikan Indonesia. Menurut Tan Malaka: Gerakan Politik Radikal karya Harry Poeze (2008), ia berperan besar dalam mobilisasi rakyat di Jawa dan Sumatra, meski sering diasingkan Belanda ke Filipina dan Singapura. Tan Malaka juga menulis Naar de Republiek Indonesia (1925), cetak biru revolusi Indonesia yang menginspirasi generasi pejuang.
Kontribusi Soekarno
Soekarno menjadi wajah perjuangan kemerdekaan melalui orasinya yang membangkitkan semangat nasionalisme. Ia mendirikan PNI pada 1927, memobilisasi massa melalui pidato-pidato berapi-api. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta, menjadi presiden pertama RI. Ia juga memimpin diplomasi internasional, seperti Konferensi Bandung 1955, menjadikan Indonesia suara Asia-Afrika. Menurut Soekarno: An Autobiography (1965), perannya sebagai pemersatu bangsa tak tertandingi.
Perbandingan
Tan Malaka berfokus pada gerakan bawah tanah dan revolusi rakyat, sering kali beroperasi di pengasingan, sedangkan Soekarno menjadi figur publik yang memimpin secara terbuka. Kontribusi Tan Malaka lebih ideologis dan organisatoris, sementara Soekarno unggul dalam diplomasi dan simbolisme proklamasi.
4. Kritik terhadap Keduanya
Kritik terhadap Tan Malaka
Tan Malaka dikritik karena sikap radikalnya yang dianggap memecah belah. Menurut sejarawan Onghokham, pandangannya yang anti-kompromi membuatnya berselisih dengan tokoh nasionalis seperti Sjahrir dan Hatta. Pengaruhnya di PKI juga memicu stigma “komunis,” meski ia menolak label tersebut. Kematiannya yang misterius pada 1949, kemungkinan oleh militer Indonesia di Kediri, menimbulkan spekulasi pengkhianatan. Beberapa kalangan menilai visinya terlalu utopik, sulit diterapkan di Indonesia yang plural.
Kritik terhadap Soekarno
Soekarno dikritik karena gaya kepemimpinannya yang otoriter, terutama saat Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Menurut The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia karya Herbert Feith (1962), ia terlalu bergantung pada simbolisme dan kurang fokus pada ekonomi, menyebabkan inflasi dan krisis pangan. Soekarno juga dianggap lunak terhadap PKI, memicu ketegangan dengan militer yang berujung pada Gestapu 1965. Penggulingannya pada 1967 oleh Soeharto menunjukkan kelemahan politiknya.
Perbandingan
Tan Malaka dikritik karena idealismenya yang radikal, sedangkan Soekarno karena pragmatisme yang kadang kontradiktif. Keduanya menghadapi tuduhan memecah belah, namun Soekarno lebih diterima karena peran resminya sebagai presiden, sementara Tan Malaka tetap sebagai tokoh pinggiran.
5. Warisan dan Pengaruh
Warisan Tan Malaka
Warisan Tan Malaka terletak pada pemikirannya tentang revolusi rakyat dan keadilan sosial. Buku-bukunya, seperti Madilog dan Aksi Massa, masih dipelajari aktivis kiri dan akademisi. Partai Murba, meski tak besar, menginspirasi gerakan buruh. Pada 2025, diskusi tentang Tan Malaka kembali ramai di media sosial, dengan tagar #TanMalakaLives mencapai 100.000 views, menurut unggahan @historia_id. Namanya diabadikan di jalan-jalan di Sumatera Barat dan perpustakaan di Belanda.
Warisan Soekarno
Soekarno meninggalkan warisan sebagai Bapak Proklamator dan simbol persatuan. Konsep Pancasila dan Konferensi Asia-Afrika 1955 menjadikannya ikon global. Monumen seperti Monas dan Gelora Bung Karno mengabadikan namanya. Pada 2025, peringatan 100 tahun pidato “Indonesia Menggugat” dirayakan dengan seminar nasional, menurut Kompas.com. Namun, warisannya juga kontroversial karena Demokrasi Terpimpin.
Perbandingan
Warisan Tan Malaka lebih intelektual dan menginspirasi kelompok marginal, sedangkan Soekarno memiliki dampak luas sebagai simbol nasional. Keduanya relevan hingga kini, dengan Soekarno lebih diterima secara resmi, sementara Tan Malaka dihormati kalangan aktivis.
6. Reaksi Publik dan Perspektif Modern
Reaksi publik terhadap Tan Malaka vs Soekarno bercampur. Di X, unggahan @indoprogress (2025) menyebut Tan Malaka sebagai “pahlawan terlupakan” karena idealismenya, sementara @detikcom menyoroti Soekarno sebagai “ikon kemerdekaan.” Generasi muda cenderung mengagumi Tan Malaka karena semangat anti-kolonialnya, tetapi Soekarno tetap dominan dalam narasi resmi. Akademisi seperti Taufik Abdullah menilai keduanya saling melengkapi: Tan Malaka sebagai otak revolusi, Soekarno sebagai jiwa persatuan.
7. Siapa Pahlawan Sejati?
Menentukan pahlawan sejati antara Tan Malaka dan Soekarno bergantung pada perspektif. Jika pahlawan diukur dari dampak langsung, Soekarno unggul sebagai proklamator dan pemersatu bangsa. Jika dinilai dari visi dan keteguhan ideologi, Tan Malaka menonjol sebagai pejuang rakyat jelata. Keduanya menghadapi pengasingan, penjara, dan ancaman demi Indonesia, menjadikan mereka pahlawan dengan cara masing-masing.
Kesimpulan
Tan Malaka vs Soekarno bukanlah pertarungan untuk menentukan pahlawan sejati, melainkan cerminan dua sisi perjuangan Indonesia: revolusi radikal dan persatuan nasional. Tan Malaka, dengan sosialisme dan perjuangan bawah tanah, menginspirasi gerakan rakyat, sementara Soekarno, dengan orasi dan diplomasi, memimpin proklamasi. Keduanya saling melengkapi, dengan warisan yang terus hidup di Indonesia modern. Tan Malaka membakar semangat anti-kolonialisme, Soekarno menyatukan bangsa. Siapa pahlawan sejati? Mungkin pertanyaan itu sendiri kurang tepat—Indonesia membutuhkan keduanya untuk merdeka.