Edukasi

Tingkat Perselingkuhan dan Perceraian di Indonesia

Tingkat Perselingkuhan dan Perceraian di Indonesia

Pernikahan di Indonesia dianggap sebagai institusi suci yang mengikat dua individu dalam komitmen lahir dan batin untuk membentuk keluarga yang harmonis dan langgeng. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak pernikahan menghadapi tantangan serius, dengan perselingkuhan dan perceraian menjadi dua fenomena sosial yang kian mencuri perhatian. Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat perceraian di Indonesia menunjukkan tren peningkatan, sementara perselingkuhan sering disebut sebagai salah satu pemicu utama keretakan rumah tangga. Artikel ini akan mengulas data terkini, faktor penyebab, dampak sosial, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi fenomena ini.

Tren Perceraian di Indonesia

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kasus perceraian di Indonesia menunjukkan fluktuasi dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2015, angka perceraian tercatat sekitar 340.000 kasus, meningkat signifikan hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 516.344 kasus. Pada 2023, angka ini sedikit menurun menjadi 463.654 kasus, menandakan penurunan pertama sejak pandemi COVID-19. Meski demikian, angka ini tetap tinggi jika dibandingkan dengan data satu dekade lalu, menunjukkan bahwa perceraian masih menjadi isu sosial yang relevan.

Berdasarkan jenisnya, mayoritas perceraian di Indonesia adalah cerai gugat (diajukan oleh istri), yang pada 2023 mencapai 352.403 kasus atau 76% dari total kasus. Sementara itu, cerai talak (diajukan oleh suami) menyumbang 24% atau 111.251 kasus. Data ini menunjukkan bahwa istri lebih sering mengambil inisiatif untuk mengakhiri pernikahan, yang dapat dikaitkan dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak perempuan dan ketidakpuasan terhadap dinamika rumah tangga.

Secara geografis, provinsi dengan angka perceraian tertinggi pada 2023 adalah Jawa Barat (102.280 kasus), diikuti Jawa Timur (88.213 kasus), dan Jawa Tengah (76.367 kasus). Di tingkat kota, Indramayu (Jawa Barat) mencatatkan angka tertinggi dengan 8.026 kasus pada 2021, diikuti oleh Bandung dan Surabaya. Faktor ekonomi, perselisihan, dan perselingkuhan menjadi penyebab utama di wilayah-wilayah ini.

Mpok Alpa: Fakta Kanker dan Pelajaran Hidup

Perselingkuhan: Pemicu Utama Perceraian

Perselingkuhan sering disebut sebagai salah satu faktor utama penyebab perceraian di Indonesia. Survei yang dilakukan oleh JustDating pada 2024 mengungkapkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua di Asia dengan tingkat perselingkuhan sebesar 40%, hanya di bawah Thailand (51%). Fenomena ini tidak hanya terbatas pada masyarakat biasa, tetapi juga marak di kalangan publik figur, sebagaimana tergambar dalam film populer seperti Ipar Adalah Maut yang mengangkat kisah nyata tentang perselingkuhan.

Data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, sekitar 780 kasus perceraian secara langsung disebabkan oleh zina (perselingkuhan). Namun, angka ini mungkin lebih tinggi jika mempertimbangkan kasus-kasus yang diklasifikasikan sebagai “perselisihan dan pertengkaran” (251.828 kasus), yang sering kali dipicu oleh ketidaksetiaan. Pengadilan Agama Jakarta Barat pada 2025 melaporkan bahwa perselingkuhan, bersama dengan masalah ekonomi, menjadi penyebab utama dari 800-900 perkara perceraian yang ditangani antara Januari-Maret 2025.

Faktor yang mendorong perselingkuhan di Indonesia sangat beragam. Media sosial memainkan peran besar, dengan interaksi daring yang intens sering kali memicu ketidakpercayaan atau hubungan di luar nikah. Ketidakpuasan emosional, tekanan ekonomi, dan kurangnya komunikasi dalam rumah tangga juga menjadi pemicu utama. Selain itu, budaya modern yang semakin permisif terhadap hubungan di luar nikah, ditambah dengan kemudahan akses ke aplikasi kencan, turut memperburuk situasi.

Faktor Penyebab Perceraian Lainnya

Selain perselingkuhan, beberapa faktor utama penyebab perceraian di Indonesia meliputi:

  1. Perselisihan dan Pertengkaran: Ini adalah penyebab terbesar, menyumbang 61,67% dari total kasus pada 2023 (251.828 kasus). Perselisihan sering kali berakar dari masalah komunikasi, perbedaan pandangan, atau ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
  2. Masalah Ekonomi: Tekanan finansial, seperti pengangguran, pinjaman daring, atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyebabkan 108.488 kasus perceraian pada 2023.
  3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Sekitar 5.100 kasus perceraian pada 2023 dipicu oleh KDRT, baik fisik maupun psikologis, yang merusak kepercayaan dan keamanan dalam pernikahan.
  4. Meninggalkan Pasangan: Sebanyak 34.300 kasus perceraian terjadi karena salah satu pihak meninggalkan pasangannya tanpa kabar.
  5. Faktor Lain: Judi daring (judol), poligami, mabuk, dan kawin paksa juga disebut sebagai penyebab, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil.

Dampak Sosial Perceraian

Lonjakan angka perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan yang berpisah, tetapi juga pada anak-anak dan masyarakat luas. Anak-anak dari keluarga yang bercerai sering mengalami trauma psikologis, seperti rendahnya rasa percaya diri, kesulitan bersosialisasi, dan penurunan prestasi akademik. Kepala Pengadilan Agama Cikarang, Dr. H. Ahmad Yani, menyatakan bahwa dampak ini dapat berlangsung jangka panjang, memengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak.

10 Ide Bisnis Rumahan: Omzet Besar Modal Kecil

Di tingkat masyarakat, perceraian dapat melemahkan nilai-nilai keluarga tradisional dan meningkatkan stigma sosial, terutama bagi perempuan yang bercerai. Namun, meningkatnya cerai gugat juga mencerminkan perubahan sosial, di mana perempuan kini lebih berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk menuntut keadilan dalam hubungan rumah tangga.

Upaya Penanganan dan Pencegahan

Berbagai pihak telah berupaya menekan angka perceraian dan perselingkuhan di Indonesia. Pengadilan Agama, seperti di Cikarang dan Jakarta Barat, meningkatkan layanan mediasi untuk membantu pasangan menyelesaikan konflik tanpa bercerai. Mediasi ini melibatkan mediator non-hakim yang netral untuk memfasilitasi dialog antara pasangan.

Pemerintah, melalui Kantor Urusan Agama (KUA), aktif melakukan sosialisasi dan kampanye tentang pentingnya kematangan emosional sebelum menikah. Program Bimbingan Perkawinan (Bimwin) bertujuan mengubah paradigma masyarakat terhadap pernikahan, menekankan komunikasi, pengelolaan keuangan, dan nilai-nilai keluarga.

Selain itu, lembaga konseling keluarga dan seminar berbasis agama digalakkan untuk memperkuat nilai kesetiaan dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Para ahli, seperti Dr. Siti Nurjanah, menekankan pentingnya pendidikan pernikahan dan peran agama dalam mencegah perceraian. Program pemerintah daerah, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan modal usaha, juga diadakan untuk mengurangi tekanan ekonomi yang sering memicu konflik rumah tangga.

Tabel: Data Perceraian dan Penyebabnya di Indonesia (2023)

Faktor PenyebabJumlah KasusPersentase
Perselisihan dan Pertengkaran251.82861,67%
Masalah Ekonomi108.48826,56%
Meninggalkan Pasangan34.3008,40%
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)5.1001,25%
Zina (Perselingkuhan)7800,19%
Poligami7380,18%
Judi1.5000,37%
Mabuk1.7000,42%
Total Kasus463.654100%

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2023

15+ Website Cuan dari Mana Saja di 2025

Tabel: Provinsi dengan Angka Perceraian Tertinggi (2023)

ProvinsiJumlah KasusPeringkat
Jawa Barat102.2801
Jawa Timur88.2132
Jawa Tengah76.3673
Sumatera Utara18.2004
DKI Jakarta17.2005

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), 2023

Kesimpulan

Tingkat perselingkuhan dan perceraian di Indonesia mencerminkan tantangan kompleks dalam menjaga keharmonisan rumah tangga di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perselingkuhan, yang diperparah oleh media sosial dan ketidakpuasan emosional, menjadi salah satu pemicu utama perceraian, bersama dengan perselisihan dan masalah ekonomi. Meskipun angka perceraian menunjukkan penurunan pada 2023, fenomena ini tetap memerlukan perhatian serius karena dampaknya yang luas terhadap keluarga dan masyarakat.

Upaya pencegahan, seperti mediasi, konseling, dan pendidikan pernikahan, perlu terus diperkuat untuk membangun keluarga yang tangguh. Komunikasi terbuka, pengelolaan keuangan yang baik, dan penguatan nilai-nilai agama dapat menjadi kunci untuk mengurangi perselingkuhan dan perceraian, menuju visi keluarga sakinah yang menjadi dambaan banyak pasangan di Indonesia.

Catatan: Data perselingkuhan bersifat terbatas karena sifatnya yang sensitif dan bergantung pada laporan resmi atau survei. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi situs resmi BPS (www.bps.go.id) atau Pengadilan Agama setempat.

Berita Terkait

Berita Terbaru